5 Tempat Bersejarah di Kebumen
1. Benteng Van Der Wijck
Pada masa kolonial Belanda, konon ada sebuah benteng sekilas mirip stadion sepak bola yg tepatnya di Kota Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, kira-kira 300 m dari jalan raya Kebumen – Yogyakarta.
Benteng ini adalah benteng pertahanan Hindia-Belanda yang dibangun sekitar abad ke 18. Nama Van Der Wijck sendiri berasal dari nama komandan pada saat itu yang karirnya cukup cemerlang dalam membungkam perlawanan rakyat Aceh. Pada awal didirikan, benteng ini diberi nama Fort Cochius (Benteng Cochius) dari nama salah seorang Jenderal Belanda Frans David Cochius (1787-1876) yang pernah ditugaskan di daerah Bagelen (salah wilayah karesidenan Kedu), Van der Wijck merupakan perwira militer dengan karir cemerlang karena konon mampu memenangkan berbagai peperangan di Indonesia. Tidak ada catatan pasti dalam sejarah kapan dimulainya pembangunan benteng tersebut, namun ada yang memperkirakan tahun 1827.
Ciri paling khas Benteng Van Der Wijck adalah segi delapan/oktagonal, satu-satunya di Indonesia, dengan luas mencapai 7.168 meter persegi. Tinggi benteng mencapai 10 meter yang terdiri dari dua lantai. Tebal dinding 1,4 meter (m) dan tebal lantai 1,1 m. Hampir seluruh bangunan bentuknya adalah tembok, termasuk atapnya yang berasal dari batu bata.
Benteng Van der Wicjk adalah barak militer yang awalnya digunakan untuk meredam kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro. Karena kehebatan beliau yang juga didukung pemimpin-pemimpin lokal di selatan Jawa, Belanda menerapkan taktik benteng stelsel yaitu pembangunan benteng di lokasi yang sudah dikuasainya. Tujuannya jelas, untuk memperkuat pertahanan sekaligus mempersempit ruang gerak musuh, terutama di karesidenan Kedu Selatan. Benteng ini didirikan atas prakarsa Jenderal Van den Bosch.
Selepas penjajahan Belanda, Benteng Van Der Wijck pernah difungsikan untuk tempat melatih tentara Indonesia bentukan Jepang yakni PETA sebagai pasukan tambahan menghadapi Sekutu. Di zaman itulah, seluruh tulisan Belanda yang ada di benteng dicat hitam. Kemudian dimanfaatkan untuk tentara Indonesia. Bahkan, semasa KNIL, penguasa Orde Baru, Soeharto, menjadi salah satu penghuni benteng itu.
2. Gua Jatijajar
Gua Jatijajar adalah sebuah situs geologi
yang terbentuk dari proses alamiah, yang terletak di Kabupaten Kebumen,
Jawa Tengah. Gua yang keseluruhannya terbentuk dari kapur, ini memiliki
panjang 250 meter, dari pintu masuk sampai keluar dengan.lebar rata-rata
15 meter, dan tinggi rata-rata 12 meter. Lokasi gua ini berada 50 meter
di atas permukaan laut.
Gua ini ditemukan pada tahun 1802 oleh
seorang petani bernama Jayamenawi yang memiliki lahan pertanian di atas
gua tersebut. Pada suatu ketika Jayamenawi sedang mengambil rumput,
kemudian jatuh kesebuah lubang yang ternyata lobang itu adalah sebuah
ventilasi yang ada di langit-langit gua tersebut. Lobang ini mempunyai
garis tengah 4 meter dan tinggi dari tanah yang berada dibawahnya 24
meter. Setelah Jayamenawi menemukan gua, tak lama kemudian Bupati Ambal,
salah satu penguasa Kebumen waktu itu, meninjau lokasi tersebut. Saat
mendatangi goa, dia menjumpai dua pohon jati tumbuh berdampingan dan
sejajar pada tepi mulut gua. Dari kisah itulah asal-muasal penamaan Gua
Jatijajar. Pada mulanya pintu-pintu Gua masih tertutup oleh tanah. Maka
setelah tanah yang menutupi dibongkar dan dibuang, ditemukanlah pintu
gua yang sekarang menjadi pintu masuk.
Di dalam Gua Jatijajar terdapat 7 (tujuh) sungai atau sendang, tetapi
yang data dicapai dengan mudah hanya 4 (empat) sungai yaitu:- Sungai Puser Bumi
- Sungai Jombor
- Sungai Mawar
- Sungai Kantil
Di dalam Gua Jatijajar banyak terdapat Stalagmit dan juga Pilar atau Tiang Kapur, yaitu pertemuan antara Stalagtit dengan Stalagmit. Kesemuanya ini terbentuk dari endapan tetesan air hujan yang sudah bereaksi dengan batu-batu kapur yang ditembusnya. Menurut penelitian para ahli, untuk pembentukan Stalagtit itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Dalam satu tahun terbentuknya Stalagtit paling tebal hanya setebal 1 (satu) cm saja. Oleh sebab itu Gua Jatijajar merupakan gua Kapur yang sudah tua sekali.
Batu-batuan yang ada di Gua Jatijajar merupakan batuan yang sudah tua sekali. Karena umur yang sudah tua sekali itu, maka di muka Gua Jatijajar dibangun sebuah patung Binatang Purba Dinosaurus sebagai simbol dari Objek Wisata Gua Jatijajar, dari mulut patung itu keluar air dari Sendang Kantil dan sendang Mawar, yang sepanjang tahun belum pernah kering. Sedangkan air yang keluar dari patung Dinosaurus tersebut dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai pengairan sawah desa Jatijajar dan sekitarnya. SUMBER
3. Gua Petruk
Gua Petruk merupakan salah Obyek wisata di
Kabupaten Kebumen. Lokasinya berada di dukuh Mandayana Desa Candirenggo
Kecamatan Ayah, kabupaten Kebumen, atau sekitar 4,5 km dari Jatijajar
menuju ke arah selatan.
Mendengar nama Petruk, orang tentu akan teringat nama Ponokawan anak
Ki Semar yang berbadan tinggi, namun hidungnya sangat mancung. Konon,
dalam cerita pewayangan, Petruk ini anak dari lelembut Banaspati yang
kemudian diambil anak oleh Ki Semar dan Petruk ini dikenal mempunyai
banyak akal. SEJARAHSayangnya orang telah banyak mendengar Goa Petruk, tetapi masih enggan untuk mengunjungi destinasi wisata tersebut. Cukup beralasan barang kali, memang karena untuk masuk Goa Petruk ini diperlukan persiapan yang cukup. Lagi pula, percuma kalau datang ke Goa Petruk ini hanya mengintip dari mulut Goa Petruk ini hanya mengintip dari mulut Goa yang menganga cukup lebar.
Goa Petruk ini sebetulnya terbagi menjadi
tiga bagian. Bagian pertama atau di lantai I hanya terdapat kelelawar
dengan bau kurang sedap dan beterbangan ke sana kemari. Sedang untuk Goa
kedua dalam lokasi tersebut diberi nama Goa Semar.
Dalam Goa inilah kita akan disuguhi dengan pemandangan dari bebatuan
yang cukup indah dan mempesona. Bahkan ada yang mengatakan, masuk Gua
Petruk laksana melihat alam yang tiada taranya karena terdapat batu
stalaktit dan stalagmit yang mempesona dan menyerupai berbagai bentuk.
Sedang gua yang terakhir, disebut Goa
Petruk, karena dalam Goa tersebutlah sebetulnya terdapat batu yang
mempunyai ujud seperti hidungnya Petruk. Sayang, karena ulah Belanda
yang waktu itu melakukan penambangan phosfat, hidung Petruk yang
merupakan Logo dari Goa tersebut putus dan kini sudah tak kelihatan
lagi.
Tapi bukan itu sebetulnya yang ditawarkan oleh goa tersebut, di mana
keindahan goa tersebut bukan dari hidung Petruk yang sangat mancung,
tetapi panoramanya yang memang cukup indah. Untuk itu tidak ada salahnya
kalau wisatawan bahkan memerlukan waktu berjam-jam berada di Goa Petruk
ini. SUMBER FOTO4. Masjid Soko Tunggal Pekuncen
Masjid Tiang (Saka) Tunggal terletak di Desa Pekuncen, Kecamatan
Sempor, Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Masjid yang berlokasi
sekitar 15 kilometer sebelah utara Kota Gombong tersebut merupakan salah
satu tempat wisata religi yang berada di Kebumen. Sebuah Masjid megah
yang dipercaya merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Kebumen.
Masjid Tiang (Saka) Tunggal didirikan pada tahun 1722 oleh Bupati
Kendurean, putra Adipati Mangkuprojo, seorang Wrongko Dalem Keraton
Kartosuro. Karena tiang (saka) guru masjid hanya satu, masjid ini
dikenal dengan sebutan Masjid Tiang (Saka) Tunggal.
Masjid Tiang (Saka) Tunggal sebagai benda cagar budaya merupakan
warisan budaya yang mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan maupun
sejarah kebudayaan bangsa. Warisan budaya tersebut sangat berguna bagi
pendidikan, yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa nasionalisme dan
memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Masjid yang dapat dijangkau
dengan menggunakan kendaraan pribadi (mobil atau motor) ataupun becak
bahkan delman yang terdapat di sekitar Pasar Wonokriyo, Gombong.
Tiang (Saka) tunggal mengandung filosofi yang dalam, saka tunggal
melambangkan keesaan Allah SWT sebagai sang pencipta tunggal alam
semesta. Makna tunggal tersebut diterjemahkan dengan memaknai masjid
soko tunggal tersebut sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah itu
Tunggal atau Esa. Sedangkan dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan,
masjid itu juga sebagai simbol satu tekad untuk mengusir penjajah dari
bumi Indonesia.
Sejarah Masjid Tiang (Saka) Tunggal tak bisa dilepaskan dari sosok
Adipati Mangkuprojo. Pada tahun 1700, Adipati Mangkuprojo merupakan
tokoh yang gigih melawan penjajah. Karena terdesak dia melarikan diri
dan memilih bergerilya di daerah Pekuncen. Daerah tersebut merupakan
daerah Keputihan. Selain bergerilya, Adipati Mangkuprojo juga giat syiar
Islam.
Kisah yang disampaikan sesepuh Desa Pekuncen menyebutkan bahwa,
pada tahun 1719 Adipati Mangkuprojo wafat. Sebelum meninggal, beliau
berwasiat pada putranya untuk dimakamkan di Pekuncen. Memperingati 1.000
hari meninggalnya Adipati didirikanlah masjid tersebut.
Pembangunan masjid tersebut diketuai Demang Sembilan (demang
dianggap sebagai ketua desa saat itu) yang terdiri dari Kyai Jrabang
dari wetan, Kyai Tanah Kunci, Kyai Brangkal, Kyai Karangasem, Kyai
Pekuncen, Kyai Semanding, Kyai Gumeng, Kyai Jatinegara, dan Kyai
Tegalsari.
Konon, kerangka masjid disusun di Keraton Kartosuro, kemudian baru
dibawa ke Pekuncen dengan berjalan kaki. Komponen masjid yang dibawa
antara lain, yaitu satu tiang (soko), dua kayu yang melintang di atas,
dan empat danyang (kayu penyangga kayu yang melintang di atas).
Masjid ini memiliki keunikan tersendiri. Umumnya masjid biasanya
ditopang oleh empat tiang sebagai penyangga utama bangunan. Sesuai
namanya maka masjid ini hanya ditopang oleh satu tiang saja. Tiang
tunggal sebagai penopang utama bangunan ini berbentuk segi empat dengan
ukuran 30 x 30 cm. Tiang setinggi sekitar empat meter tingginya.
Di bagian atas soko guru tersebut terdapat empat batang kayu
melintang sebagai penyangga utama bangunan masjid tersebut. Di
tengah-tengah tiang terdapat empat skur untuk membantu menyangga
kayu-kayu yang ada di atasnya. Kayu yang digunakan sebagai soko tersebut
merupakan kayu jati pilihan. Kecuali tiang (saka) tunggal dan skur
tersebut, banguan lain di masjid tersebut telah direnovasi.
Pada awal pendirian, atap masjid dibuat menggunakan ijuk dan
dindingnya menggunakan tabak bambu. Kurang lebih seabad kemudian yakni
tahun 1822 dilaksanakan rehab bangunan atap yang semula ijuk diganti
dengan atap genteng. Tetapi dindingnya masih menggunakan tabak bambu.
Baru pada tahun 1922, dinding bambu diganti dengan bangunan tembok
batu bata. Bangunan masjid tersebut saat ini ditetapkan sebagai bangunan
cagar budaya yang dilindungi.
Di lokasi Masjid juga terdapat situs sejarah yang lain, yaitu makam
keluarga Adipati Mangkuprojo berjarak kurang lebih 300 m arah utara
masjid. Makam tersebut pada tahun 1985 direnovasi oleh keluarga Sumitro
Djoyohadikusumo (begawan ekonomi Indonesia). Tidak mengherankan jika
setiap bulan ruwah dalam penanggalan Islam, keluarga Sumitro
Djoyohadikusumo pasti datang berziarah ke makam ini.
Bupati dari Kadipaten Kebumen dan Banyumas yang dimakamkan di
Pekuncen. Dari Banyumas antara lain : Raden Banyak Wide, Raden Banyak
Ngampar, Banyak Tontro dan beberapa keluarganya dan abdinya. Sedangkan
dari Kebumen adalah Raden Kolopaking I – IV, juga Bupati Pertama Kebumen
yang memasuki masa Republik adalah Raden Sukadis. SUMBER
5. Kelenteng Kong Hwie Kiong
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa, kelenteng bukan sekadar tempat
sembahyang para penganut Tri Dharma yakni Budha, Konghucu, dan Taoisme.
Kelenteng mempunyai fungsi sosial, yakni sebagai pemersatu dan
mempererat persaudaraan antara warga Tionghoa.
Salah satu fungsi sosial itu terlihat di kelenteng Kong Hwie Kiong. Selain menjadi tempat ibadah, kelenteng yang berada di Jalan Pramuka nomor 41 Kebumen itu juga menjadi tempat berkumpul warga keturunan Tionghoa. Apalagi dalam rangkaian perayaan Imlek, intensitas warga berkumpul di tempat ini meningkat.
Terletak di tengah kota Kebumen, kelenteng Kong Hwie Kiong dibangun pertama kali oleh Liem Kik Gwan seorang letnan keturunan Tionghoa pada tahun 1898. Liem Kik Gwan merupakan seorang petugas pengumpul pajak (Kong Sin) bagi orang-orang Tionghoa untuk diserahkan kepada Belanda. Kelenteng dibangun sebagai tempat ibadah warga keturunan Tionghoa yang saat itu jumlahnya sudah cukup banyak.
Menurut tokoh Tionghoa Kebumen, R Sutanto Kolopaking atau Tan Cing Hok, kelenteng yang berdiri di sisi timur Sungai Luk Ulo itu mengalami kerusakan berat akibat perang. Saat perang kemerdekaan itu, bangunan kelenteng runtuh. Bahkan sejumlah bagian hancur, kecuali beberapa tembok yang masih bertahan hingga sekarang. Sebab kala dalam agresi Belanda I sekitar tahun 1946, warga Tionghoa meninggalkan Kebumen untuk mengungsi ke Yogyakarta.
Sampai tahun 1950, sebagian warga Tionghoa pulang kembali ke Kebumen. Akan tetapi karena berbagai hal, baru pada tahun 1969, kelenteng dipugar kembali. Bangunan tahun 1969 itulah yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. Kelenteng yang sudah berumur 114 tahun sejak dibangun pertama kali ini terdapat 15 altar dan 25 patung dewa-dewi (rupang). Adapun dewa yang menjadi tuan rumah di keleteng itu adalah Thian Shang Senmu atau Dewi Samudera. Selain itu, banyak pula yang memuja dewa Hok Tek Ceng Sin.
Sebagai kaum minoritas, tak dapat dipungkiri banyak hal yang harus dihadapi oleh warga keturunan Tionghoa dalam lintasan sejarah. Terlebih pada saat era orde baru yang sekian lama berkuasa, begitu ketat dalam membatasi aktivitas warga keturunan Tionghoa. Sejumlah perayaan pun tak dapat bebas dilakukan seperti saat ini.
Bersyukur, sekarang semua sudah terbuka. Bahkan perayaan Imlek pun ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai hari besar nasional. Budaya Tionghoa pun sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.
sumber: https://anwarsalis.wordpress.com/2015/12/20/5-tempat-bersejarah-di-kebumen/
Salah satu fungsi sosial itu terlihat di kelenteng Kong Hwie Kiong. Selain menjadi tempat ibadah, kelenteng yang berada di Jalan Pramuka nomor 41 Kebumen itu juga menjadi tempat berkumpul warga keturunan Tionghoa. Apalagi dalam rangkaian perayaan Imlek, intensitas warga berkumpul di tempat ini meningkat.
Terletak di tengah kota Kebumen, kelenteng Kong Hwie Kiong dibangun pertama kali oleh Liem Kik Gwan seorang letnan keturunan Tionghoa pada tahun 1898. Liem Kik Gwan merupakan seorang petugas pengumpul pajak (Kong Sin) bagi orang-orang Tionghoa untuk diserahkan kepada Belanda. Kelenteng dibangun sebagai tempat ibadah warga keturunan Tionghoa yang saat itu jumlahnya sudah cukup banyak.
Menurut tokoh Tionghoa Kebumen, R Sutanto Kolopaking atau Tan Cing Hok, kelenteng yang berdiri di sisi timur Sungai Luk Ulo itu mengalami kerusakan berat akibat perang. Saat perang kemerdekaan itu, bangunan kelenteng runtuh. Bahkan sejumlah bagian hancur, kecuali beberapa tembok yang masih bertahan hingga sekarang. Sebab kala dalam agresi Belanda I sekitar tahun 1946, warga Tionghoa meninggalkan Kebumen untuk mengungsi ke Yogyakarta.
Sampai tahun 1950, sebagian warga Tionghoa pulang kembali ke Kebumen. Akan tetapi karena berbagai hal, baru pada tahun 1969, kelenteng dipugar kembali. Bangunan tahun 1969 itulah yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. Kelenteng yang sudah berumur 114 tahun sejak dibangun pertama kali ini terdapat 15 altar dan 25 patung dewa-dewi (rupang). Adapun dewa yang menjadi tuan rumah di keleteng itu adalah Thian Shang Senmu atau Dewi Samudera. Selain itu, banyak pula yang memuja dewa Hok Tek Ceng Sin.
Sebagai kaum minoritas, tak dapat dipungkiri banyak hal yang harus dihadapi oleh warga keturunan Tionghoa dalam lintasan sejarah. Terlebih pada saat era orde baru yang sekian lama berkuasa, begitu ketat dalam membatasi aktivitas warga keturunan Tionghoa. Sejumlah perayaan pun tak dapat bebas dilakukan seperti saat ini.
Bersyukur, sekarang semua sudah terbuka. Bahkan perayaan Imlek pun ditetapkan oleh pemerintah RI sebagai hari besar nasional. Budaya Tionghoa pun sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.
sumber: https://anwarsalis.wordpress.com/2015/12/20/5-tempat-bersejarah-di-kebumen/
0 komentar:
Posting Komentar