Nama-nama Wali Songo, Riwayat, Tempat dan Gambarnya
Nama-nama wali songo yang kita kenal adalah nama
sebutan atau julukan. Biasanya dengan sebutan sunan, yang artinya orang
yang dimuliakan. Umumnya yang disebut sunan masih terdapat silsilah
keturunan kerajaan, baik secara langsung maupun setelah generasi
dibawahnya. Nah, dari sekian banyak sunan-sunan yang menyebarkan agama
islam di nusantara, ada 9 sunan yang disebut wali songo atau wali
sembilan.
Wali sendiri berarti utusan atau wakil. Sedangkan dalam ajaran islam
dikenal kata waliyullah atau waliallah yang artinya orang yang beriman
dan bertakwa, pelindung dan dapat dipercaya. Para wali-wali ini
mengabdikan diri mereka di jalan Allah untuk mengajak orang beriman
kepada Allah dengan kerelaan, kelembutan dan tanpa paksaan. Begitu pun
dengan wali songo yang menyebarkan agama islam di pulau Jawa.
Para wali tersebut memiliki riwayat dan juga tempat dakwah
tersendiri. Selain itu setiap wali juga menitipkan wasiat dan juga
peninggalan terhadap umat islam di nusantara. Sehingga nama-nama wali
songo tersebut dicantumkan dalam sejarah persebaran islam di nusantara.
Siapa sajakah nama-nama wali songo tersebut? Bagaimanakah riwayat
dibalik setiap nama-nama wali songo tersebut? Mari kita bahas satu
persatu mulai dari nama-nama walisongo, riwayat, tempat dakwah beserta
warisan dan peninggalan masing-masing wali.
Daftar Nama-nama Wali Songo Beserta Riwayat dan Peningglannya
1. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik. (swaralakbok.wordpress.com)
Sunan Gresik mempunyai nama asli Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah
keturunan Nabi Muhammad SAW silsilah ke-22. Beliaulah orang pertama
yang memulai dakwah peyebaran islam di pulau Jawa. Pada saat itu,
tepatnya di akhir masa kerajaan Majapahit, Sunan Gresik memulai
dakwahnya.
Beliau merangkul dan menolong rakyat jelata korban dari perang
saudara akibat runtuhnya Majapahit. Beliau menarik hati rakyat kala itu
dengan metode bercocok tanam dan perdagangan. Sehingga masyarakat yang
sedang kesulitan ekonomi mulai terbantu dan perlahan ingin mempelajari
islam.
Karena semakin banyaknya orang yang ingin belajar islam, kemudian
beliau mendirikan sebuah pondok di daerah Leran, Gresik. Beliau mengajar
ilmu agama hingga akhir hayatnya dan meninggal di tahun 1941 M,
jenazahnya dikebumikan di Desa Gapura Wetan, Gresik.
Dasar perjuangan utama beliau adalah menghilangkan sistem kasta yang
ada di masyarakat, karena semua manusia sama di mata Allah, yang
membedakan hanya amal ibadahnya saja. Sunan Gresik mewariskan
peninggalan berupa Masjid Malik Ibrahim, Leran, Gresik.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel. (kumpulan-kisahteladan.blogspot.com)
Sunan Ampel atau yang bernama asli Raden Rahmat adalah anak dari
Sunan Gresik dan Dewi Condro Wulan. Dewi Condro Wulan adalah putri raja
Champa yang masih keturunan Dinasti Ming yang terakhir. Beliau
menyebarkan agama islam di kalangan masyarakat pedesaan di derah Ampel
Denta, Surabaya.
Di sana beliau mendirikan pondok untuk memfasilitasi orang-orang yang
ingin belajar agama islam dan berkonsultasi. Ajaran yang sangat
terkenal dan diajarkan pada saat itu adalah falsafah “Moh Limo”. Moh
artinya tidak/menolak, dan limo artinya lima.
Jadi isi dari ajaran tersebut adalah untuk menolak dan tidak
melakukan lima hal, yakni Moh Main (tidak berjudi), Moh Ngombe (tidak
minum-minuman keras), Moh Maling (tidak mencuri), Moh Madat (tidak mau
menghisap candu/ganja/narkoba) dan Moh Madon (tidak berzina).
Peninggalan dari Sunan Ampel adalah Masjid Ampel di Ampel Denta,
Surabaya. Setelah Sunan Ampel wafat, beliau dimakankan di dekat masjid
Ampel. Sedangkan perjuangan dakwahnya diteruskan oleh anaknya yakni
Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
3. Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang. (akucintanusantaraku.blogspot.com)
Sunan Bonang memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, anak dari
Sunan Ampel dari istri bernama Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng
Manila. Selepas ayahnya wafat, Sunan Bonang memutuskan untuk belajar
agama di Malaka, tepatnya di daerah Pasai. Di sana beliau menimba ilmu
dari Sunan Giri khususnya dalam metodologi pengajaran islam yang menarik
hati rakyat.
Setelah selesai menimba ilmu di sana, beliau pulang ke Tuban dan
mendirikan pondok di tanah kelahiran ibunya tersebut. Karena
karakteristik masyarakat di Tuban yang senang terhadap hiburan, maka
Sunan Bonang membuat alat musik gamelan untuk menarik minat orang untuk
belajar islam. Jadi di sela-sela pertunjukan musik diselingi dengan
dakwah.
Peninggalan dari Sunan Bonang adalah alat musik tradisional gamelan
berupa bonang, bende dan kenong. Selain itu beliau juga memperkenalkan
arsitektur gapura bernafaskan islam.
4. Sunan Drajat (Raden Qosim/Raden Syaifudin)
Sunan Drajat, (republikpos.com)
Sunan Drajat atau yang dikenal dengan nama asli Raden Qosim adalah
saudara seibu dari Sunan Bonang. Menurut beberapa kisah, beliau juga
dikenal dengan julukan Raden Syaifudin. Selepas ayahnya meninggal,
beliau sempat belajar dan berguru ilmu agama pada Sunan Muria. Setelah
itu barulah beliau kembali ke daerah pesisir Gresik yakni di Desa Jelog,
pesisir Banjarwati, Lamongan.
Karena muridnya semakin banyak, maka beliau memutuskan untuk
mendirikan pondok di daerah Daleman Duwur, tepatnya di Desa Drajat,
Paciran, Lamongan. Di sana beliau mendapatkan ide untuk menyelipkan
ajaran agama melalui
suluk yang pernah dipelajarinya di tempat Sunan Muria. Suluk yang sering disampaikan pada murid-muridnya adalah “Suluk Petuah”.
Dalam suluk tersebut ada beberapa pesan-pesan yang ditanamkan dalam
diri manusia, khususnya ajaran untuk menolong sesama manusia. Salah satu
kutipan di dalamnya adalah “Wenehono teken marang wong kang wuto
(berilah tongkat pada orang buta). Wenehono mangan marang wong kang luwe
(berilah makanan pada orang yang lapar). Wenehono busono marang kang
wudo (berilah pakaian pada orang yang telanjang). Wenehono ngiyup marang
wong kang kudanan (berilah tempat berteduh pada orang yang kehujanan)”.
Masih ada beberapa suluk lain yang juga menjadi peninggalan dari
Sunan Drajat tetapi yang terkenal adalah Suluk Petuah di atas. Hingga
saat ini suluk-suluk Sunan Drajat masih diajarkan di pondok-pondok kuno
di tanah Jawa.
5. Sunan Kalijaga (Raden Said)
Sunan Kalijaga. (akucintanusantaraku.blogspot.com)
Sunan Kali Jaga adalah orang Jawa pribumi asli, lahir di Tuban dengan
nama asli Raden Said. Beliau adalah anak dari bupati Tuban kala itu
yang bernama Arya Wilatika. Arya Wilatika sendiri merupakan pemimpin
dari kelompok pemberontakan Ronggolawe di zaman Majapahit. Raden Said
muda kala itu mewarisi semangat ayahnya, beliau memrotes penarikan pajak
tak berperikemanusiaan di zaman Majapahit.
Kemudian disusunlah rencana perampokan ke semua pejabat pajak dan
membagikan seluruh hartanya pada rakyat miskin. Akibat aksinya tersebut,
Raden Said dikenal seantero Majapahit dengan nama Bandar Lokajaya.
Namun aksinya tersebut terhenti sejak beliau bertemu dengan Sunan
Bonang. Beliau dinasehati agar berhenti, karena jalan kebaikan tidak
bisa ditemuh dengan jalan keburukan.
Akhirnya Sunan Kali Jaga berhenti dan berguru ilmu agama di tempat
Sunan Bonang. Dari sanalah beliau mendapat ide dalam berdakwah, yakni
dengan gamelan dan wayang. Tentu saja didalamnya disisipkan dakwah dan
ajaran agama islam. Karena beliau orang Jawa asli, maka ajaran yang
disampaikan sangat membumi.
Beliau lebih menerapkan pengajaran agama yang bertahap. Menanamkan
nilai agama dalam kebudayaan dan ideologi Jawa. Karena beliau
berkeyakinan, ketika agama islam dipahami, maka secara otomatis
kebiasaan buruk akan hilang dengan sendirinya. Peninggalan dari Sunan
Kalijaga adalah seni ukir, wayang, gamelan dan suluk.
6. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus. (republikpos.com)
Sunan Kudus memiliki nama asli Ja’far Shadiq yang merupakan cucu dari
Sunan Ampel. Jadi Ibu dari Sunan Kudus yang bernama Syarifah adalah
anak dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati. Bisa dibilang Sunan Kudus
adalah keponakan dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Beliau pernah
menimba ilmu dengan kedua pamannya tersebut dan juga menimba ilmu di
timur tengah. Tepatnya di kota Al-Quds, Yerusalem, Palestina.
Di sanalah beliau banyak mendapatkan pengetahuan dan ilmu agama dari
ulama-ulama arab. Sekembalinya ke nusantara, beliau berinisiatif untuk
mendirikan pondok tempat orang-orang belajar agama. Dipilihlah desa
Loram, Kudus, Jawa Tengah sebagai tempat dakwahnya.
Karena keluasan ilmu yang didapatnya dari sunan-sunan dan para ulama
arab, maka beliau diminta untuk menjadi pemimpin daerah Kudus. Beliau
menyanggupinya, hal tersebut merupakan jalan terbaik untuk menyebarkan
dakwahnya di kalangan pejabat, priyayi dan juga bangsawan kerajaan di
Jawa. Karena ilmunya yang luas inilah, Sunan Kudus diberi gelar Wali
Al-‘ilmi atau orang yang berilmu luas oleh wali-wali lainnya.
Dalam berdakwah, Sunan Kudus memakai metode yang sama dengan Sunan
Kali Jaga. Yakni memakai budaya setempat yang disisipi nilai islam di
tengah budaya Hindu. Peninggalan dari Sunan Kudus adalah Masjid Menara
Kudus yang bangunan menaranya bergaya Hindu. Nama kudus sendiri
sebenarnya diambil dari nama kota tempatnya belajar agama, yakni
Al-Quds.
Selain peninggalan di atas, Sunan Kudus juga mewariskan budaya
toleransi antar umat beragama. Salah satu ajarannya yakni tidak
menyembelih sapi di hari Idul Adha untuk menghormati umat Hindu di
Kudus. Beliau memerintahkan untuk mengganti sapi dengan kerbau.
7. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria. (republikpos.com)
Sunan Muria lahir dengan nama asli Raden Umar Said, yang merupakan
anak dari Sunan Kalijaga dan Saroh yang merupakan adik kandung dari
Sunan Giri. Sunan Muria mengadaptasi metode pemnyampaian islam milik
ayahnya, yakni lewat kebudayaan dan kesenian Jawa. Namun beliau lebih
memilih menyebarkan agama di temat terpencil dan juga pesisir pantai.
Sehingga dipilihlah gunung Muria di daerah Muria, Jawa tengah sebagai
pusat dakwahnya. Sedangkan jalur dakwah beliau meyebar sampai ke
Jepara, Tayu, Juana, sekitar Kudus dan Pati. Rata-rata di seputaran
pedesaan, gunung dan pesisir pantai.
Selain itu beliau juga lebih suka dan akrab dengan rakyat jelata.
Karena menurut beliau rakyat jelata adalah kelomok masyarakat yang
paling banyak jumlahnya dan juga mau menerima pengetahuan baru. Sehingga
selain mengajarkan ilmu agama, Sunan Muria juga mengajarkan ilmu
bercocok tanam, berdagang dan melaut sesuai kepandaiannya. Sedangkan
untuk menarik minat masyarakat untuk memelajari agama digunakan media
tembang, yang paling terkenal adalah tembang Sinom dan Kinanti.
Peninggalan dari Sunan Muria sendiri adalah Masjid Muria dan budaya
kenduri mendo’akan orang yang meninggal setelah di kubur. Ada nelung
dinani/3 hari, mitung diani/7hari, Matangpuluhi/40 hari, nyatus/100
hari, mendhak pisan, mendhak pindho, nyewu/1000 hari.
8. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati. (akucintanusantaraku.blogspot.com)
Sunan Gunung Jati atau yang bernama asli Syarif Hidayatullah adalah
keturunan dari bangsawan timur tengah. Ayahnya yang bernama Sultan
Syarif Abdullah Maulana adalah keturunan Bani Hasyim dari Palestina yang
merupakan pembesar di Mesir. Beliau yang terinspirasi oleh perjalanan
dakwah Sunan Gresik kemudian hijrah ke tanah Jawa.
Beliau memutuskan untuk berdakwah di daerah sekitar Cirebon, Jawa
Barat. Di sana beliau membangun pondok untuk mengajarkan ilmu agama
islam pada masyarakat sekitar. Karena beliau orang timur tengah, maka
metode penyampaian agamanya diajarkan secara lugas khas timur tengah.
Namun karena beliau juga sadar dengan kondisi masyarakat jawa, maka
digunakanlah pengantar menggunakan musik gamelan. Cara ini mirip dengan
cara yang dipakai oleh sunan-sunan sebelumnya. Tujuannya agar masyarakat
mudah tertarik dengan dakwah dan sekaligus sebagai media komunikasi
antar masyarakat. Eningglan dari Sunan Gunung Jati berupa Masjid Merah
Panjunan, Kumangang adzan pitu dan Kereta untuk berdakwah.
9. Sunan Giri (Raden Paku / Muhammad Ainul Yakin)
Sunan Giri. (youtube.com)
Sunan Giri terlahir dengan nama asli Raden Paku atau Muhammad Ainul
Yakin. Jadi sebenarnya Sunan Giri adalah anak dari ulama islam yang
berdakwah di daerah Pasai, Malaka. Namun karena saat itu ada konflik,
maka ayahnya menitipkan Muhammad Ainul Yakin pada nelayan untuk dibawa
ke Jawa yang lebih aman.
Kala itu kapal melewati Samudera Hindia dan mendarat di Selat Bali.
Di sana Sunan Giri diangkat anak oleh Dewi Sekardadu, utri Kerajaan
Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Dari situlah beliau diberi nama
Raden Paku dan dibesarkan di istana.Setelah dewasa sang ibu angkat
menceritakan masa lalunya dan siapa orang tuanya.
Akhirnya Sunan Giri memutuskan untuk kembali ke Pasai dan berguru
agama pada ayahnya. Namun sebelum kembali, Sunan Giri sempat belajar
agama di Ampel dan menjadi murid Sunan Ampel. Sesampainya di Pasai
beliau menimba ilmu dan menggantikan ayahnya mengajar setelah wafat.
Salah satu muridnya adalah Sunan Bonang yang tidak lain adalah anak dari
Sunan Ampel, gurunya.
Setelah lama di Pasai akhirnya beliau kembali ke Blambangan. Beliau
dikenal sebagai guru yang menyampaikan dakwah melalui keceriaan.
Buktinya adalah dakwahnya disisipkan dalam lagu permainan seperti
cublak-cublak suweng, jamuran dan lir-ilir. Bahkan beliau juga
menciptakan tembang filsafah yakni pucung dan asmaradana. Peninggalan
Sunan Giri adalah Masjid Giri, Giri Kedaton dan Telogo Pegat.
Nah, itulah tadi nama-nama wali songo yang menyebarkan agama islam di
pulau Jawa. Selain nama-nama wali songo di atas, terdapat pula warisan
ilmu dan peninggalan yang bisa kita jumpai sampai hari ini. Jika ada
waktu, sempatkanlah untuk wisata reliji ziarah wali. Selain itu sebagai
pengingat, kisah dan nama-nama wali songo dimasukkan dalam muatan
pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
Di sana kita bisa menelisik jejak-jejak dakwah mereka sekaligus
mendo’akan satu persatu dari nama-nama wali songo di atas. Mulai dari
yang ada di ujung Jawa bagian timur sampai ke ujung Jawa bagian barat.
Semoga kita dapat meneladani kisah-kisah dan kearifan dakwah dari setiap
nama-nama wali songo di atas tadi.
SUMBER: http://yusufblogspeed.blogspot.co.id/2016/11/pantai-karangbolong-pantai-unik-andalan.html